MAKNA ETIKA UPACARA NYEPI UNTUK PENGENDALIAN DIRI

Oleh: S. Swarsi Geria, Gianyar
Di ringkas oleh:Ni Nyoman Witari Floria Dharma

Agama Hindu untuk umat manusia yang menganut ajaran pustaka Suci Weda yang diwahyukan oleh Sang Hyang Widhi, Agama Hindu juga mempunyai kerangka yang terdiri dari Tatwa (filsafat), Susila (etika), dan Upacara (ritual). Ketiga hal tersebut merupakan suatu kesatuan yang utuh tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Filsafat, etika dan upacara harus dipahami, dihayati, dan dilaksanakan agar tujuan agama Hindu bisa tercapai. Tujuan agama Hindu itu tiada lain, untuk mencapai kedamaian rohani dan kesejahteraan hidup jasmani. Dalam pustaka suci disebut dengan Moksartham Jagadhitaya Ca iti Dharma yang artinya dharma (agama) untuk mencapai moksa dan mencapai kesejahteraan hidup, moksa juga disebut juga mukti yang artinya mencapai kebebasan jiwatman atau kebahagiaan rohani yang langgeng (Upadesa: 2001, 5).
Bertitik tolak dari pengertian di atas semua tatanan hari raya agama Hindu mempunyai filsafat/makna, hari raya tersebut juga mempunyai etika dan juga upacara sebagai perwujudan filsafat tersebut. Dalam teori tindakan yang mengatakan bahwa nilai luhur menata sikap prilaku masyarakat, kalau dioperasional teori tersebut untuk membedah suatu hari raya Hindu, khususnya hari raya Nyepi juga mempunyai filsafat sebagai acuan untuk melaksanakan upacara penyepian dan punya etika (susila) sebagai pedoman yang baku untuk melaksanakan upacara penyepian. Hal tersebut berarti merupakan tatanan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam suatu hari raya Hindu termasuk hari raya Nyepi.
Hari raya Nyepi salah satu hari raya besar umat Hindu di Bali, filsafat (tattwa) dan susila (etika) yang menjadi acuan semua upacara hari raya Hindu di Bali. Nilai-nilai budaya Hindu yang diakui di dalam upacara yadnya termasuk upacara yadnya pada hari raya Nyepi merupakan suatu kekuatan spiritual yang dapat membentuk jati diri umat; sebagai wahana pengendalian diri dan dapat sebagai penguat integrasi umat manusia dalam arti yang sangat universal.
Hari raya Nyepi sebagai hari raya umat Hindu yang merupakan puncak identitas umat Hindu karena hari raya suci ini satu-satunya yang diakui sebagai hari libur nasional yang dimulai tahun 1983.
Hari raya Nyepi jatuh dalam satu tahun sekali tepatnya pada tahun baru saka. Pada saat itu matahari menuju garis lintang utara, saat Uttarayana yang disebut juga Devayana yakin waktu yang baik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut lontar Sang Hyang Aji Swamandala yang menyatakan bahwa, Tawur (upacara) Bhuta Yadnya atau Tawur Kesanga sebaiknya diadakan pada tilem bulan Chaitra (Tilem Kesanga), sehari sebelum hari raya Nyepi dirayakan. Menurut tradisi yang berlaku di Bali, tata urut upacara Nyepi diawali dengan melasti ke Segara (laut), Ida Bhatara melinggih di Bale Agung (Pura Desa) selanjutnya dilangsungkan upacara Bhuta Yadnya (tawur Kesanga), Nyepi, dan sehari setelah hari raya Nyepi disebut Ngembak Geni. Tujuan dilaksanakan upacara Hari Raya Nyepi adalah dapat dilihat dari berbagai aspek-aspek sebagai berikut:
1. Aspek religius merupakan suatu proses penyucian bhuwana Agung dan Bhuwana Alit (Makrokosmos dan mikrokosmos) untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir bathin (jagadhita dan moksa) terbina kehidupan yang berlandaskan Satyam (kebenaran), Siwam (kesucian), Sundaram (keharmonisan, keindahan).
2. Membiasakan diri untuk melakukan tapa, yoga dan semadi bagi masing-masing pribadi umat, ini mengandung makna evaluasi perbuatan dalam setahun dan juga sebagai pengendalian diri.
3. Aspek sosial budaya merupakan wahana untuk integrasi umat, hal itu terlihat pada saat umat Hindu bersama-sama ngiring Ida Bhatara dari awal yaitu dari pura masing-masing terus nyejer di Bale Agung dan lanjut ngiring melasti. Disini nampak kekompakan masyarakat ngiring bersama-sama.
Dalam prosesi upacara diatas sudah nampak jelas tata susila (etika upacara) menata pelaksanaan seluruh proses tersebut. Berikut ini fokus bahasan pada tulisan singkat ini “Makna etika Hari Raya Nyepi bagi Pengendalian Diri” umat Hindu maupun umat lainnya.
Makna Etika Hari Raya Nyepi untuk Pengendalian Diri
Berdasarkan uraian di atas hari raya Nyepi yang datang setahun sekali yang merupakan identitas umat Hindu. Pada saat itu umat Hindu khususnya diajarkan untuk dapat melihat diri baik dan buruknya kerja yang dilakukan seseorang. Dalam Pustaka Suci disebutkan sebagai berikut : “Manusia lahir sendiri, sendiri juga ia akan mati, sendiri ia menikmati perbuatan yang baik, sendiri pula menikmati perbuatan yang buruk (Manawa Dharma Sastra,
IV. 240).
Mengacu pada isi sloka di atas yang mengandung makna, baik buruk kerja yang dilakukan oleh seseorang akan membentuk nilai pribadmnya. Weda menegaskan bahwa melalui kerja yang baik (subhakarma) manusia akan dapat menolong dirinya sendiri dan samsara untuk mencapai kebahagiaan abadi yang bebas dan proses kelahiran kembali (moksa).
Moksa merupakan moral-religius bagi umat Hindu untuk melaksanakan kerja yang baik (Subhakarma) dan menghindarkan perbuatan yang buruk (Asubhakarma) dalam kehidupan di dunia ini (Gabde; 2000).
Pada ajaran suci ada juga menyebutkan untuk memahami makna di atas yang dianalisis dan mantram di bawah ini yaitu : “Hyang Widhi hanya menyayangi orang yang bekerja keras” Reg Weda, IV, 33, 11). Mantram tersebut menyatakan bahwa Hyang Widhi menyayangi orang yang mau bekerja keras. Maka manusia yang ingin mendapatkan berkah dari Hyang Widhi Wasa harus bekerja keras sepanjang hidup ini.
Memaknai Hari R.aya Nyepi sebagai Pengendalian Diri
Seperti telah dijelaskan diatas, hari raya Nyepi merupakan peristiwa peralihan tahun icaka, pada saat itu masyarakat diharapkan merenung (mulat sarira) untuk melihat mana perbuatan baik dan mana yang buruk selama kurun waktu setahun. Menurut etika hari raya Nyepi hal tersebut teimplisit dalam catur Berata Penyepian adalah empat pedoman yang telah ditetapkan dan harus dilaksanakan oleh umat Hindu sebagai wujud pengendalian diri dan mawas diri dengan empat pedoman : amati Geni, amati Lelanguan, Amati karya, dan Amati lelungaan. Pelaksanaan keempat etika diatas mengandung makna sebagai berikut:
1. Amati Geni
Amati geni mempunyai makna ganda yaitu tidak melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan menghidupkan api. Disamping itu juga merupakan upaya mengendalikan sikap prilaku agar tidak dipengaruhi oleh api amarah (kroda) dan loba (serakah). Menurut Tattwa Hindu (filsafat) yang memaknai simbol Geni tidak disimbolkan sebagai kekuatan dewa Brahma yang sebagai pencipta. Penciptaan yang terkait dengan hasil pemikiran seseorang disini perlunya diadakan perenungan, apakah kita sudah menghasilkan pemikiran untuk kebaikan umat ataukah sebaliknya. Pernyataan tersebut terungkap dalam berbagai Pustaka Suci Hindu yang mengatakan bahwa “Keunggulan manusia sebagai mahiuk ciptaan Tuhan, terletak pada proses pemikiran seseorang yang dapat membedakan sikap prilaku yang baik dan buruk (Sarasamuscaya : sloka 82). Alat kendali proses berpikir yang paling utama menurut ajaran Hindu adalah keyakinan terhadap karma phala (Sarasamuscaya, sloka 74). Mengacu pada etika Berata Penyepian di atas sudah nampakpelaksanaan amati Geni merupakan suatu simbol pengendalian diri seseorang dalam bersikap dan berprilaku.
2. Amati Lelanguan
Amati Lelanguan yang dimaksud merupakan kegiatan seseorang untuk mulat sarira atau rnawas diri terhadap kegiatan yang berkaitan dengan wacika. Wacika adalah perkataan yang benar yang dalam beriteraksi dengan sesamanya maupun dengan Tuhan sudah dilaksanakan atau belum. Menurut tattwa Hindu dalam pustaka suci yang terungkap dalam Sarasamuscaya dan Kekawin nitisastra mengajarkan sebagai berikut :
(1) kata-kata menyebabkan sukses dalam hidup;
(2) kata-kata menyebabkan orang gagal dalam hidup;
(3) kata-kata menyebabkan orang mendapat hasil sebagai sumbu kehidupan; dan
(4) kata-kata menyebabkan orang memiliki relasi. Mengacu pada pemikiran diatas manusia Hindu telah diajarkan agar tetap melaksanakan wacika yang diparisudha yang antinya:
(a) proses interaksi sosial (komunikasi) tidak boleh berkata kasar,
(b) mencaci maki dan juga tidak boleh menyebabkan orang tersinggung dan menderita (Sarasamuscaya; Sloka 75),
Uraian di atas memberikan kita suatu pelajaran bahwa perkataan (wacika) yang diparisudha itulah yang patut dipahami dan menata sikap prilaku seseorang agar hidup ini aman dan bahagia.
3. Amati Karya
Amati Karya sebagai etika Nyepi yang bermaknakan sebagai evoluasi diri dalam kaitan dengan karya (kerja) merenung hasil kerja dalam setahun dan sebelumnya sudahkah bermanfaat bagi kehidupan manusia. Aktualisasi amati karya dalam konteks hari raya merupakan perenungan pikiran yang religius yang mengajarkan umat Hindu dalam evaluasi hasil kerja sebagai berikut, yaitu sisihkan hasil kerja untuk yadnya,
- untuk Hyang Widhi,
- untuk Resi,
- untuk Leluhur maupun
- untuk budhi.
Hal tersebut tertera dalam pustaka suci Atharwa weda III.24. 5 dan Sarasamuscaya Sloka 262, yadnya itu juga merupakan implementasi dari ajaran Tri Rna. Diajarkan pula melalui yadnya dapat terjadi proses penyucian diri manusia baik secara rohani maupun jasmani.
Amati karya bermakna ganda yang artinya tidak bekerja dan dimaknai sebagai kesempatan untuk mengevaluasi kerja kita apakah aktivitas kerja itu sudah berlandaskan dharma atau sebaliknya. Kerja yang baik (subha karma) dapat menolong manusia untuk menolong dirinya dari penderitaan. Kerja juga menyebabkan terjadinya Jagadhita dan merupakan tabungan moral bagi umat Hindu agar bekerja lebih gigih, tekun dan produktif. Berdasarkan uraian diatas ajaran suci Hindu memandang bahwa kerja sebagai yadnya dan titah Hyang Widhi; kerja dapat menolong diri sendiri dan kerja dapat menentukan identitasnya Aku bekerja, maka aku ada demikianlah yang diamanatkan oleh umat Hindu.
4. Amati Lelungaan
Amati lelungaan merupakan salah satu dari empat berata Penyepian yang berfungsi sebagai evaluasi diri dan sebagai sumber pengendalian diri. Amati lelungaan berarti menghentikan bepergian ke luar rumah, maka pada saat hari raya Nyepi, jalan raya sangat sepi. Dalam konteks yang lebih luas hal itu berarti suatu evaluasi diri. Evaluasi kerja hubungan dengan Tuhan; evaluasi kerja hubungan dengan sesama dan hubungan kerja dengan alam sekitar apakah hubungan tersebut sudah baik atau belum, sehingga kita dapat menilai hasil kerja kita se-obyektif mungkin. Mutu meningkat untuk kebaikan atau merosot, langkah selanjutnya bisa menentukan sikap. Diharapkan agar lebih memantapkan kualitas kerja untuk kualitas hidup manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar